SEJARAH RAJA, PEMERINTAHAN, & ISTANA DALAM LOKA SUMBAWA
Oleh Ahmad Zuhri Muhtar ·Kebaradaan Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Goa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi pelindung kerajaan Samawa’.
Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan kerajaan Goa, maka resikonya ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut pengikutnya kesebuah Hutan, kira-kira di wilayah Kecamatan Utan sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah Utan lebih arif disebut kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Goa di Sulawesi sangat besar.
Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 M sekaligus mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674 M Dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat itu menurut BUK Tana’ Samawa, rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk Agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa’ ini berkuasa hingga tahun 1958.
Luas wilayah kekuasaannya dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh. Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I yang kawin dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene.Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan selama 10 tahun. Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan Sumbawa termasuk “ Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta dan mengharapkan , digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin ( 1761-1762 ).
Pemerintahannya Lalu Onye, hanya berjalan setahun. Konon karena ia lari dari istana untuk menghindari perang saudara, atas kekeliruannya menikahi seorang wanita yang telah lama ditinggalkan berlayar oleh suaminya, Lalu Angga Wasita yang terkenal keperkasaannya. Ia menyangka Lalu Angga Wasita sudah meninggal karena tidak pernah ada kabar beritanya. Tapi suatu hari lelaki perkasa itu muncul. Karena raja merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa , di hari ke 14 Ramadhan waktu bulan purnama raya.
Kepergian Datu Ungkap Sermin itu membuat kursi raja menjadi lowong. Maka diangkatlah Gusti mesir Abdurrahman, keturunan Raja Banjar. Meski ia bukan trah Dinasti Dewa Dalam Bawa, tetapi memungkinkan untuk diangkat menjadi raja karena telah menikah dengan puteri Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. ia pun diberi gelar Muhammad Jalaluddin Syah II, dan memegang kekuasaan selama 3 tahun (1762-1765). Ia mangkat pada tanggal 1 Dzulhijjah 1179 Hijriah ( 1765 Masehi). Untuk menggantinya diangkatlah putra mahkota yang masih berumur 9 tahun menjadi “raja boneka” yaitu Sultan Mahmud. Sedangkan yang menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa datu Taliwang.
Keputusan ini menimbulkan amarah datu Jereweh, karena ia sangat berambisi untuk menjadi raja. Maka ia berangkat ke Makasar untuk meminta bantuan kompeni (VOC) agar bisa menciptakan kekacauan di Kerajaan Sumbawa. Sebelum berangkat, datu Jereweh menemui kerajaan-kerajaan tetangganya dan mempengaruhi mereka supaya ikut mendukung rencananya dan ikut menandatangani perjanjian dengan VOC sekaligus membatalkan segala hal yang telah diatur dalam perjanjian Bongaya antara VOC dengan raja Goa yang isinya antara lain VOC tidak boleh mencampuri urusan perdagangan di kerajaan selatan.
Akhirnya pada tanggal 9 Februari 1765 di Fort Rotterdam ditandatangani perjanjian antara Cornelis Senklaar Komodour sebagai wakil VOC denga pihiak raja – raja selatan yang antara lain Sultan Abdul Kadir Muhammad Dzillillah Fil Alam ( raja Bima ), Hasanuddin Datu Jereweh ( mengatas namakan raja Sumbawa ), Achmad Alauddin Johan Syah (raja Dompu), Abdurrasyid (raja Sanggar) dan Abdurrahman (raja Pekat).
Perjanjian ini berisi tentang diperkenankannya VOC masuk Sumbawa. Tapi perjanjian ini kemudian dibatalkan lewat kontrak baru tanggal 18 Mei 1766 berkat keberhasilan diplomasi utusan kerajaan Sumbawa Dea Tumuseng. Dalam perjanjian ini disebutkan, apabila Sultan Mahmud dewasa, maka kekuasaan raja akan diserahkan kembali kepadanya.Tapi pada waktu Sultan Dewa Mepaconga Mustafa sakit pada tahun 1189 H (1775 M), beliau digantikan oleh Datu Busing Lalu Komak, yang bergelar Sultan Harrunnurrasyid II (1777-1790). Sementara Sultan Mahmud yang putra mahkota itu tidak pernah diangkat menjadi raja yang sebenarnya, hingga ia meninggal dunia pada 8 jumadil akhir 1194 H (1780 M) dalam usia 24 tahun. Pada waktu pemerintahan Harrunnurrasyid II ini telah berhasil diselesaikan penulisan Kitab Suci Al Qur’an dengan tulisan tangan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Al Jawi Negeri Sumbawa Madzab Safiie, tepatnya pada 28 Dzulqaidah 1199 H (1784 M).
Sepeninggal Harrunnurrasyid II, tahta kerajaan beralih pada anak perempuannya, yaitu Sultan Syafiatuddin (1791-1795). Ia kemudian kawin dengan Sultan Bima dan mengikuti suaminya ke Bima, sekaligus memboyong beberapa harta pusaka kerajaan. ( Sebagian koleksi harta kekayaan Raja Bima sekarang adalah milik Sultan Syafiatuddin yang dibawa dari Sumbawa ). Karena kejadian itu, maka diputuskan oleh para Menteri Kerajaan untuk tidak lagi mengangkat wanita sebagai raja. Sedangkan pengganti Sultan Syafiatuddin adalah putera Sultan Mahmud bernama Muhammad Kaharuddin II. Pada waktu pemerintahannya inilah Gunung Tambora meletus. Tepatnya pada hari Selasa, 21 Jumadil Awal 1230 H (1815 M). Pada waktu itu Kerajaan Sumbawa dilanda hujan debu. Dalam laporan H. Zolinger disebutkan bahwa sepertiga penduduk mati di pulau Sumbawa dan sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Sedangkan abu yang menggenangi wilayah kerajaan Sumbawa sampai setinggi lutut. Setahun kemudian Sultam Muhammad Kaharruddin II pun mangkat pada tanggal 20 Syafar 1231 Hijriah (1816 M). Pemangku kerjaan selanjutnya diserahkan kepada Nene Ranga Mele Manyurang. Ia pun tidak lama menduduki singgasana kerajaan, karena pada bulan Rabbiul Awal 1241 Hijriah (1825 M), Nene Ranga yang sudah tua itu meninggal dunia. Kekuasaan dilanjutkan oleh Abdullah hingga ia meninggal pada tanggal 87 Muharram 1252 Hijriah (1836 M).
Mulai tahun 1836 sampai 1882, tahta Kerajaan Sumbawa kembali dilanjutkan oleh Putera Muhammad Kaharuddin II, yaitu Sultan Amrullah. Pada waktu pemerintahannya ini tidak banyak catatan sejarah yang bisa ditemukan, barangkali karena kerajaan baru mulai bangkit dari peristiwa meletusnya Gunung Tambora yang sangat dashyat. Sebuah letusan yang konon menyebabkan langit di Eropa diliputi kabut awan selama dua tahun.
Sultan Amrullah meninggal pada tanggal 23 Agustus 1883, sementara kursi raja diteruskan oleh Sultan Muhammad Jalaluddin III, cucu Sultan Amrullah. Pada masa ini campur tangan Belanda sudah terlalu jauh, terutama dalam hal menarik pajak. Akhirnya meledaklah pemberontakan rakyat, yang membuat Belanda harus mendatangkan bala bantuan dari Makassar, sebab hampir di setiap tempat timbul amarah rakyat. Namun karena kelemahan dalam bidang persenjataan, semua bentuk pemberontakan dapat dipatahkan termasuk pemberotakan yang terjadi di Taliwang yang dilakukan Unru dan kawan-kawan.
Kekuasaan Belanda lewat VOC pun semakin merajalela. Maka dimulailah babak baru, Belanda ikut bermain politik di dalam istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan satu dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa Besar ( Ibukota Kabupaten Sumbawa sekarang). Asisten Resident yang pertama adalah Janson Van Ray. Kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua ander afdeeling, yaitu Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.
Dalam pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931) inilah dibangun “Istana Tua Dalam Loka”. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Ia juga mampu menuruti kehendak Belanda. Setelah ia meninggal pada tahun 1931, kekuasaan raja turun kepada putra mahkota yang mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III. Pada zaman pemerintahannya inilah menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang.
Ketika perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi – organisasi Islam di Kabupaten Sumbawa mulai mengatur siasat. Organisasi itu antara lain Nahdatul Oelama, Moehammadiah dan Al Irsyad. Sementara tiga kerajaan di pulau Sumbawa mengambil sikap tegas, menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi, yang ternyata disambut gembira oleh rakyat. Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom, Jepang menyerah kepada sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Agresi Militer Belanda ke Republik Indonesia mengakibatkan Raja Sumbawa menandatangani sebuah perjanjian politik baru dengan Belanda pada tanggal 14 Desember 1948. Isinya antara lain menjelaskan tentang sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di Sumbawa. Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan luar negeri dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian pemerintah Indonesia Timur berdasarkan Undang – Undang Nomor 44 tahun 1949 membentuk daerah Statuta Federasi Pulau Sumbawa, yang ditetapkan oleh Dewan Raja – raja pada tanggal 6 September 1949.
Perubahan system Pemerintahan terjadi lagi dengan membentuk Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang didasarkan pada Undang – Undang Nomor 64 Tahun 1958. Propinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga Daerah Swatantra Tingkat I yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat ( NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Khusus Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Barat menjadi enam Daerah Swantantra Tingkat II, dimana raja sekaligus menjadi Kepala Pemerintahan. Karena itu otomatis Federasi Pulau dibubarkan. Federasi Pulau Lombok dibubarkan pada tanggal 17 Desember 1958 dan tanggal tersebut hingga sekarang dijadikan sebagai hari lahirnya Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan Federasi Pulau Sumbawa dibubarkan pada tanggal 22 Januari 1959 dan pada saat itu dilantiklah Sultan Muhammad Kaharruddin III menjadi Pejabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. Tanggal itulah yang dijadikan hari lahir Kabupaten Sumbawa.
Sejarah Dalam Loka (Istana Tua) Sumbawa
Pulau Sumbawa yang terletak di Propinsi
NTB, telah didiami manusia sejak zaman glasiasi (1 Juta tahun yang
lalu), dan mengawali masa sejarahnya mulai abad 14 Masehi ketika terjadi
hubungan politik dengan kerajaan Majapahit yang saat itu berada di
bawah kepemimpinan raja Hayam Wuruk dengan Maha Patihnya yang terkenal,
Gajah Mada (1350-1389). Pada saat itu di Sumbawa di kenal adanya
kerajaan Dewa Awan Kruing, yang memiliki vassal (kadipaten) yaitu
kerjaan Jereweh, Taliwang, dan Seran. Raja terakhir dari kerajaan Dewa
Awan Kuning yang bersifat Hinduistis adalah Dewa Majaruwa, yang kemudian
memluk agama Islam. Perubahan agama ini berkaitan dengan adanya
hubungan dengan kerajaan Islam pertama di Jawa, yakni kerajaan Demak
(1478-1597). Kemudian pada tahun 1623 kerjaan Dewa Awan Kuning ini
takluk kepada kerajaan Goa dari Sulawesi Selatan.
Hubungan dengan kerajaan Goa kemudian diperkuat dengan perkawinan silang sebagai berikut :
Pada 24 Desember 1650, raja Sumbawa, Mas
Dini, menikah dengan puteri raja Tallo. Kemudian pada 29 Juni 1684, Mas
Bantam, pendiri kerajaan Sumbawa dinasti Dewa Dalam Bawa bergelar Sultan
Harunnurasyid I (1674-1702), menikah dengan putri raja Goa.
Selanjutnya, putera kedua Sultan Harunnurasyid I, Mas Madina, yang
kemudian menjadi raja dengan gelar Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I
(1702-1723), menikahi puteri raja Goa lainnya.
Pernikahan silang antar kerajaan ini dapat dikatakan sebagai perkawinan politik antar kerajaan Goa dengan kerajaan Sumbawa.
Adapun Raja Sumbawa yang berkaitan
langsung dengan pembangunan Istana Dalam Loka adalah Sultan Muhammad
Jalaluddin Syah III (1883-1931), yang merupakan Sultan ke-16 dari
dinasti Dewa Dalam Bawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III ini
mendapat peneguhan sebagai penguasa Sumbawa berdasarkan akte Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda tanggal 18 Oktober 1885 dan mulai saat itulah
penjajahan kerajaan Belanda berlangsung secara efektif di wilayah
kerajaan Sumbawa.
Luas wilayah kerajaan Sumbawa berdasarkan
Lange Politick Contract 1938 adalah 844 km2, yang secara gegrafis
merupakan sebagian dari Pulau Sumbawa yang terletak pada posisi 1160
35’BB – 1180 15’ BT dan 80 5’ BU-90 5’-LS.
Lokasi Istana Dalam Loka padas saat ini
terletak di dalam Kota Sumbawa Besar, menunjukkan bahwa kota ini memang
sejak dahulu kala merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan
perekonomian di wilayah tersebut. Istana Tua “Dalam Loka” dibangun pada
zaman pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III, tepatnya pada
thun 1885. Sebelum istana ini dibangun, kerajaan Sumbawa telah bebeap
kali berganti istana, antara lain pernah dikenal “Istana Gunung Setia,”
“Istana Bala Balong dan Istana Bala Sawo”.
Bala Rea (Graha Besar) yang terletak di
dalam komplek istana “Dalam loka” berbentuk rumah panggung kembar,
disangga 99 tiang jati yang melambangkan 99 sifat Allah (Asma’ul Husna).
Istana ini selain untuk menempatkan raja pada posisi yang agung, juga
sebagai pengganti Istana Bala Sawo yang hangus terbakar letusan bubuk
mesiu logistik kerjaan. Bangunan Bala Rea ini menghadap ke selatan lurus
kedepan alun-alun, ke arah bukit Sampar yang merupakan situs makam para
leluhur. Disebelah barat alun-alun terdapat Masjid kerajaan, Masjid
Nurul Huda yang masih berdiri hingga sekarang, dan di sebelah timur
komplek isatana megalir sungai Brang Bara ( sungai di sekitar kandang
kuda istana).
Bahan baku pembangunan istana Dalam Loka
ini sebagian besar didatangkan dari pelosok-pelosok desa di sekitar
istana. Khusus untuk kayu jati ukuran besar didatangkan dari hutan Jati
Timung, sedangkan atapnya yang terbuat dari seng didatangkan dari
Singapura. Pekerjaan pembangunan istana ini dipimpin oleh Imam Haji
Hasyim.
Bala Rea ini memiliki banyak ruangan dengan fungsinya masing-masing. Antara lain sebagai berikut :
1. Lunyuk Agung, terletak di bagian
depan. Merupakan ruangan tempat dilangsungkannya musyawarah, resepsi,
dan serangkaian kegiatan penting lainnya.
2. Lunyuk Mas, adalah ruangan khusus bagi
permaisuri, para isteri menteri dan staf penting kerajaan ketika
dilangsungkan upacara adat. Letaknya bersebelahan dengan Lunyuk Agung.
3. Ruang Dalam sebelah barat, terdiri
dari kamar-kamar yang memanjang dari arah selatan ke utara sebagai kamar
peraduan raja (Repan) yang hanya di sekat kelambu dengan ruangan
sholat. Di sebelah utara Ruang Dalam merupakan kamr tidur Permaisuri
bersama dayang-dayang.
4. Ruang Dalam sebelah timur, terdiri
atas empat kamar, diperuntukkan bagi putra/putri Raja yang telah berumah
tangga. Di ujung utaranya adalah letak kamar pengasuh rumah tangga.
5. Ruang Sidang, terletak pada bagian
utara (bagian belakang) Bala Rea. Pada malam hari ruangan ini digunakan
sebagai tempat tidur para dayang.
6. Dapur terletak berdampingan dengan ruang perhidangan.
7. Kamar mandi, terletak di luar ruang induk, yang memanjang dari kamar peraduan raja hingga kamar permaisuri.
8. Bala Bule, letaknya persis di depan
ruang tamu permaisuri (Lunyuk Mas), berbentuk rumah dua susun. Lantai
pertama yang sejajar dengan Bala Rea sebagai tempat putra/putri raja
bermain, sedangkan lantai dua untuk tempat Permaisuri beserta istri para
bangsawan menyaksikan pertunjukkan yang dilangsungkan di lapangan
istana.
Diluar bangunan Bala Rea yang kini
dikenal sebagai Dalam Loka, sebagai kesatuan dari keseluruhan komplek
Istana (Dalam), pada zaman dahulu masih terdapat beberapa bagian penting
istana, yakni Keban Alas (kebun istana), Bala Buko (gapura) tembok
istana, Bale Jam (rumah jam), tempat khusus diletakannya lonceng
kerajaan.
Sejak dibangunnya istana baru, pada tahun
1932 (istana kerjaan yang sejak tahun 1954 difungsikan sebagai rumah
dinas “Wisma Praja” Bupati Sumbawa), keadaan Bala Rea sebagai bangunan
utama dari komplek istana dalam loka, sudah tak layak ditempati dan
mulai ditinggalkan keturunan kerjaan sebagai penghuninya sehingga
terlantar begitu rupa. Maka tak heran bila ketika mulai dipugar kembali
oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan pada tahun 1979, melalui Proyek
Sasana Budaya-Budaya sejak tahun anggaran 1979/1980 sampai dengan tahun
anggaran 1984/1985 ,kondisinya sedemikian memprihatinkan—semak belukar
menutupi keseluruhan areal Bala rea ini.
Setelah rampung dipugar, berdasarkan
rekomendasi Direktorat Purbakala melalui surat No. 005/c.1/F5.1/43
tertanggal 2 April 1993, pemerintah Kabupaten Sumbawa memanfaatkannya
sebagai museum daerah dengan nama “Museum Dalam Loka”.
Kenyataannya kini, Dalam Loka nampak
sudah tidak berdiri lagi di sebrang timur Masjid Jami Nurul Huda, di
antara himpitan permukiman yang kian padat. Konon Dalam Loka tengah
dipugar kembali sebagai anggaran kerja dari Proyek Pelestarain Sejarah
dan Purbakala Propinsi Nusa Tenggara Barat sejak tahun 2001 bekerjasama
dengan pemerintah Jepang.
Diposting di Grup Facebook Samawa Sabalong Samalewa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar